NEGERI DI ATAS AIR

Pulau Bromo, 02 September 2013.

Air. Air. Air. 

Dimana-mana air. 

Rumah-rumah berdiri di atas air. Orang-orang berjalan di atas air. Bener-bener pas deh kampung ini disebut negeri di atas air. 

Dimana sih nih?

Kota seribu sungai adalah julukan Kota Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan, yang udah kesohor kemana-mana. Bahkan, dahulu kala pemukiman orang Banjar itu berawal di sungai sebelum pindah ke darat. Sebelum orang Banjar memeluk agama besar dunia, entah Islam, Kristen, Hindu, atau Budha, mereka mempercayai sungai adalah tempat kehidupan yang abadi.

Hm. Di zaman sekarang, masih bisakah kita menemui kehidupan asli orang Banjar yang berpusat di sungai?

BISA!

sejauh mata memandang...
mesjid di atas air
Ini adalah pemandangan yang akan kita jumpai kalau kita jalan-jalan ke daerah Mantuil di selatan Banjarmasin. Sekitar 30 menitan dari pusat kota. Ada suatu daerah yang disebut masyarakat setempat dengan nama Pulau Bromo. Beneran pulau, terpisah dari daratan kota Banjarmasin oleh sungai selebar kira-kira 30 meter.

Untuk menuju Pulau Bromo, kita mesti menyeberang dengan feri atau kelotok (bahasa Banjar, artinya perahu mesin). Inilah alat transportasi andalan warga, untuk bekerja, ke sekolah, ke pasar, atau ke mall. Hihi.

kapal feri andalan warga
kelotok yang kutunggu...
Bagian paling unik ada di ujung pulau yang berbatasan dengan Sungai Barito. Uniknya, ada rumah-rumah terapung di tengah sungai atau orang Banjar mengistilahkan lanting. Lanting ini udah jarang banget bisa kita temui di Banjarmasin.

Gak sekadar tempat tinggal, pada zaman perang sebelum kemerdekaan, lanting juga dijadikan alat pertahanan orang Banjar terhadap serangan Belanda. Para pejuang menyembunyikan meriam di lanting dan menembaki kapal Belanda sambil lantingnya berjalan.

lanting
Lanting gak kalah sama rumah-rumah yang ada di darat. Di salah satu lanting, saya sempat liat alat-alat rumah tangganya lengkap, mulai televisi, kulkas, dispenser, sampai mesin cuci ada.

Menurut cerita warga, tahun 1980-an lanting ramai bermunculan di sini. Tapi bukan sebagai tempat tinggal, melainkan tempat berdagang karena berjualan di darat dirasa sudah gak ramai lagi. Sebabnya, air yang pasang surut membuat para pembeli yang menggunakan perahu atau kapal kesulitan menjangkau warung-warung yang berada di tepi sungai.

Daerah ini memang ramai dilewati perahu dan kapal karena pertemuan dengan Sungai Barito. Dari jauh kita bisa melihat tongkang-tongkang dengan gundukan hitam batubara melintas.

toko terapung
Pada tahun 1980-an itu, ada sekitar 10-an lanting yang mengapung agak menjorok ke tengah sungai. Sekarang, lanting yang masih eksis tinggal empat. Sisanya udah berubah jadi rumah permanen dengan balok-balok kayu yang ditancapkan ke dasar sungai sebagai penopang. Sebagian ada yang ditarik ke darat, sebagian lagi posisinya tetap di tengah karena sungai di bawahnya dangkal.

Gara-garanya, bambu yang digunakan sebagai pengapung lanting harganya semakin mahal. Padahal, bambu-bambu itu harus rutin diganti setiap 1,5-2 tahun sekali. Dulu, harga sebatang bambu cuma Rp 600. Sekarang, naik berlipat-lipat jadi Rp 25 ribu-Rp 35 ribu perbatang.

Sebuah lanting biasanya ditopang empat sampai enam ikat bambu, tergantung ukuran lanting, dan setiap ikatan terdiri dari sekitar 100 batang bambu. Jadi, untuk satu ikat bisa habis Rp 2 juta lebih. Kalau mengganti semua, bisa Rp 10 jutaan. Wew...

Ada tradisi yang menarik kalo pemilik lanting pengen mengganti bambu pengapung lantingnya. Si pemilik akan besaruan (bahasa Banjar, artinya mengundang) dengan para tetangga, lalu para tetangga akan beramai-ramai datang membantu. Gak peduli saat itu mereka mau pergi berhuma atau ada pekerjaan lain, semua ditinggalin.

Orang-orang kemudian berdiri di atas ikatan bambu, lalu bambu yang busuk dikeluarkan dengan cara ditarik dan yang baru dimasukkan, begitu terus sampai semua selesai diganti. Setelah prosesi ini tuntas, tetangga yang sudah bersedia membantu tadi dijamu makan. Ini sudah menjadi tradisi dan bertahan hingga kini. Ah, sayangnya saya belum berkesempatan nih ngeliat langsung prosesi ini.

titian
Di negeri di atas air ini, jangan harap deh nemu jalan tanah. Yang ada hanya titian kayu yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Panjangnya ada kira-kira satu kilometer.


"Ketika naik ke darat, orang cenderung hanya mementingkan diri sendiri. Di lanting, orang hidup bersama dan hanya mengambil apa yang boleh diambil. Raja-raja membuat istana di darat, dan semua kita ingin jadi raja." - Prof MP Lambut, peneliti UNESCO untuk pengkajian Borneo.

Komentar

  1. Sis kpn ngambil foto nya sis,aku org asli sini,kok pantai nya gak di fto

    BalasHapus
  2. Terimakasih sudah mampir, senaaaaaang sekali klo ada yg ninggalin komentar : )

    Ada tanggalnya tu, 2 September 2013.
    Pantainya dimana yak??

    BalasHapus

Posting Komentar